Sabtu, 05 Mei 2012

TUGAS SOFSKIL KEWARGANEGARAAN Kontroversi G30S


TUGAS SOFSKIL
KEWARGANEGARAAN
  Kontroversi G30S












DEWI SRI LESTARI
N.P.M : 51211973
KELAS : 1DF01













  
Kontroversi G30S


 Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.

Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus ini selesai,” jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S.

Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.

Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.

Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.

Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.

Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram.

Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.

Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan .


Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.


Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.

Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.

Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”

Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. “saya pernah mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.”


Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib.

Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?” Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.

Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober

TUGAS SOFSKIL KEWARGANEGARAAN PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM


TUGAS SOFSKIL
KEWARGANEGARAAN

PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM












DEWI SRI LESTARI
N.P.M : 51211973
KELAS : 1DF01












PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM


Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara.
Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.

Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.

Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.

Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”









TUGAS SOFSKIL KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU


 TUGAS SOFSKIL
KEWARGANEGARAAN


KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU












DEWI SRI LESTARI
N.P.M : 51211973
KELAS : 1DF01











KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU


Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).

Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota.

Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.

Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.

Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini.

Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.

Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.

Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program Pendidikan Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).

Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak berfungsi.

Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).

TUGAS SOFSKIL KEWARGANEGARAAN BANK CENTURY



 TUGAS SOFSKIL
KEWARGANEGARAAN
                                                                  KORUPSI












DEWI SRI LESTARI
N.P.M : 51211973
KELAS : 1DF01







Pendahuluan
Latar Belakang
Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite.
Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA, yang sempat menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua orang terhadap apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal yang wajar. Karena apabila kita melihat dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp. 25 Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya: Apalagi kalau bukan korupsi? Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat gaji pegawai pajak setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus Tambunan pasti telah melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan masyarakat banyak.
Seperti yang telah diberitakan oleh berbagai media bahwa nama Gayus Tambunan mulai mencuat ketika disebutkan oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji sebagai seseorang yang berkaitan erat dengan makelar kasus. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar menguap entah ke mana.  Susno mengutarakan bahwa ada keterlibatan dari tubuh Polri sendiri dalam kasus manipulasi pengusutan pajak.
Gayus kemudian dituntut kepolisian dengan tiga pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi. Namun pada persidangan itu Gayus hanya dituntut dengan pasal penggelapan, divonis oleh hakim dengan hukuman 1 tahun percobaan, kemudian dibebaskan. Terdapat berbagai kejanggalan di pengadilan Gayus saat itu, antara lain soal ancaman hukuman yang ternyata lebih ringan dari ketentuan Undang-Undang, tuntutan dari jaksa yang hanya berupa tuntutan soal penggelapan uang, serta penggelaran persidangan yang dilakukan di hari Jumat, di Pengadilan Negeri yang biasanya tidak digelar persidangan pidana, Maret 2010).
Modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs Rupiah saat menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu, November 2009).
Kini Gayus Tambunan kembali ditetapkan sebagai terdakwa dan dijerat pasal berlapis yakni korupsi, pencucian uang dan penggelapan. Kasus Gayus kini melebar dan melibatkan sejumlah pihak. Namanya mencuat kembali saat dirinya diduga bebas berkeliaran keluar dari rumah tahanan. Gayus Tambunan, entah mengapa, mendapatkan perlakukan khusus yang sangat tidak masuk akal.
Perkembangan terkini dari penanganan kasus korupsi Gayus Tambunan semakin membuat masyarakat jengah. Gayus Tambunan sebagai tersangka korupsi seolah-olah memiliki kuasa sahingga dia selalu mendapatkan perlakuan istimewa. Terakhir, dia kembali mendapatkan perlakuan istimewa di depan hukum, yaitu kepolisian hanya menjeratnya dengan pasal gratifikasi, di mana dia hanya dapat dihukum maksimal 3 tahun penjara. Dalam berbagai perkara yang pernah ada, seseorang yang terjerat pasal gratifikasi sering lolos dari jeratan hukum. Hal ini kemudian menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum dalam menangani kasus Gayus. Oleh karena itu masyarakat banyak yang mendesak agar kasus Gayus ditangai oleh KPK. Akan tetapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri tetap menegaskan bahwa kasus Gayus tetap ditangai oleh Polisi. Padahal, telah jelas terlihat bahwa Kepolisian sendiri tidak serius dalam menangani kasus korupsi Gayus sehingga menyebabkan kasus ini tidak menemui ujungnya, Desember 2010).
Hal ini kemudian menjadi pertanyaan penting bagi kita semua. Ada apa dengan negeri ini? Mengapa korupsi tetap saja dapat berjaya dan bersemayam di tubuh semua lembaga, bahkan di lembaga yang seharusnya memiliki kewajiban untuk memberantas korupsi itu sendiri. Ini menjadi tantangan bagi bangsa dan Negara dalam mengatur dan menata kehidupannya.
Masalah
Pertanyaan yang penting untuk dijawab di sini adalah bagaimana bisa muncul suatu penyakit, yaitu korupsi. Mengapa dia menjadi benalu yang tidak pernah lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara? Bahkan korupsi telah menjamah semua kalangan di dalam masyarakat. Yang lebih memprihatinkan adalah korupsi terus bersarang, dan sarangnya semakin besar, di kalangan atas, para elite, pejabat, dan pemimpin yang memiliki kuasa dalam mengatur kesejahteraan masyarakat umum.
Mengapa korupsi bisa terjadi? Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, melihat keterkaitan korupsi dengan kekuasaan, tindak kejahatan korporasi dan birokrasi, adalah hal yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini terletak pada kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan petinggi Negara semakin serius sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi Negara dan masyarakat.

  Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami mengapa munculnya suatu tindakan korupsi dalam sebuah kekuasaan, bahkan dalam praktek-praktek penegakan hukum sekalipun. Selain itu, dengan pembahasan dalam makalah ini, diharapkan juga dapat diketahui apa-apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan korupsi di kalangan atas, para elite, dan pejabat pemerintah.
  1.Korupsi
Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc., esp. by bribery (Lihat “Corrupt | Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com. Retrieved 2010-12-06.)
Sejatinya, ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli.  Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan peran (Agus Suradika, 2009: 2). Selain itu, korupsi juga dapat dikatakan sebagai representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik (Wahyudi Kumorotomo, 2005: V)
Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status (lihat Agus Suradika, 2009: 2).
Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial (Miriam Budiarjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik, 1995: 35)
Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan member perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia (Robert M. Maclver, 1961: 87). Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan oleh  kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih unggul daripada yang lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa dalam sejarah masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih kecil dari pada yang dikuasai (op cit., h.36)
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya mamupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan (ibid., h.37)
White-collar crime
Pengertian dasar dari konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaanya” (Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas sosial ekonomi ini, menurut Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang berada di kelompok orang-orang terhormat.
Atas dasar pengertian di atas, tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan peracunan tidak dapat dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian, yang memiliki kaitan erat denganpe pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan sebagai white-collar criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk dalam golongan orang terhomat (Muhammad Mustofa, 2010: 17).
White-collar yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang merupakan orang-orang terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya digunakan oleh Sloan, Direktur General Motors dalam bukunya The Autobiography of a White Collar Worker, yang memiliki arti lebih luas. White-collar menunjuk kaum peneruma gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya (Lihat Sutherland, 1949: 9, catatan kaki 7)
Pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan negara yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi praktik-praktik yang demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi mesin utama bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan terjadinya kejahatan oleh kerah puitih. White-collar crime dalam bentuk kejahatan korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal loging).
Terdapat dua kategori kejahatan dalam dimensi white-collar crime, menurut Clinard dan Quinney (1973), yaitu occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dalam menjabarkan cirri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan Quineey merujuk kepada rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu perbuatan yang dilakukan:
-          Oleh individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);
-          Oleh pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);
-          Oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);
-          Oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan)
-          Oleh pedagan terhadap konsumen (pelanggaran konsumen)
Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar crime yang berangkat dari tipologi yang diutarakan oleh Edelhertz,. Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:
-          Kejahatan oleh orang-orang yag bekerja secara individual dan sementara (ad hoc), misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, penipuan kebangkrutan dan lain-lain;
-          Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) ileh orang yang mengoperasikan bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam bentuk pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank lien, misalnya penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;
-          Kejahatan yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis, misalnya pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan makanan, dan obat-obatan;
-          White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan kejahatan professional, misalnya penipuan layanan pengobatan dan kesehatan, undian palsu, dan sebagainya (lihat Muhammad Mustofa, 2010: 28)
Ketentuan tipologi yang pertama dan kedua adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh individu, sedangkan ketentuan yang ketiga dan keempat merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan oleh organisasi.
Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi tidak dapat dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang, tetapi harus sebagai tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat dipahami melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai organisasi yang secara kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan tingkah laku  yang melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi korporasi ini sangat luas sehingga menopang keadaan yang mendorong terjadinya penimpangan oleh organisasi, disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara luas. Kodrat tujuan korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan cirri iklim sosal industry dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati pelanggaran hukum (Clinard, Yeager, 1980: 43)
Di dalam korporasi, terdapat jenjang-jenjang yang memungkinkan setiap jenjang tersebut memiliki sikap tidak bertanggung jawab (pelembagaan sikat tidak bertanggung jawab). Hal ini menyebabkan korporasi bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang membolehkan setiap orang di dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum. Dari situasi seperti inilah kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka, eksekutif korporasi, dapat mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam mencapai tujuan korporasi yang dirumuskan secara umum sdah merupakan sarana yang tersedia tanpa dapat dikendalikan (Ibid., h.44)
Differential Association.
Differential Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini, berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui sebuah cara yang kurang memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan melalui interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan perilaku menyimpang.
Sutherland memberikan 9 prinsip dari teori Differential Association, yaitu:
1)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari
2)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi
3)      Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary group (keluarga, teman, teman sepermainan atau sahabat paling dekat)
4)      Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik, tujuan, rasionalisasi, kebiasaan dan sikap sehari-hari.
5)      Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang menguntungkan dan tidak menguntungkan.
6)      Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa dengan melanggar hukum akan mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada tidak melanggar hukum.
7)      Differential association bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8)      Proses belajar menjadi jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam pembelajaran lainnya.
9)      Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan sikap, perilaku kriminal dan tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh kebutuhan dan sikap sama, sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap sama.


                                                   Pembahasan
Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Terdapat sebuah postulat yang mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan. Dalam artian bahwa korupsi itu ada baik di pemerintahan yang sentralistik maupun desentralistik. Jika pemerintahan suatu negara adalah sentralistik, korupsi juga akan bersifat sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu tersentral, semakin besar pula terjadi kasus korupsi di kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya, jika pemerintahan suatu negara adalah desentralistik, misalnya dengan Otonomi Daerah, tindakan korupsi akan tersebar pula mengikuti pola pemerintahan desentralistik tersebut. Dengan kata lain, praktek korupsi juga terjadi di pemerintahan tingkat daerah. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada masa sekarang di Indonesia (Lihat Agus Suradika, 2009: 1)
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
Mengacu pada kasus korupsi Gayus Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan wewenang. Seperti yang kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat pajak, memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang demikian sangat memudahkannya untuk memanipulasi data, mempengaruhi suatu kebijakan sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya sendiri. Menurut sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu, November 2009). Dari perkara-perkara seperti ini lah Gayus berhasil mendapatkan keuntungan tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang merupakan ‘senjata’ dari sebuah kekuasaan dan kewenangan.
Manusia memiliki sifat dasar untuk terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan pribadi tetap membayangi manusia di dalam melaksanakan kewajibannya, yang seharusnya kewajiban itu menuntut seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan mengutamakan kepentingan umum dan tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa Gayus Tambunan. Ada kecurigaan bahwa kasus korupsi, penggelapan dan pencucian uang disebabkan oleh suap yang dilakukan oleh para pengusaha agar mau memudahkan jalan bagi usaha mereka. Seperti misalnya ketika Gayus menerima aliran duit sebesar Rp 370 juta. Selain itu, ada keterlibatan pengusaha bernama Andi Kosasih dalam kasus korupsi Gayus Tambunan.
Korupsi yang merugikan negara dan masyarakat banyak biasanya bermula dari penguasa
Kaitan tindakan kejahatan, korupsi, antara penguasa dan keterlibatan para pengusaha, secara sederhan dapat diilustrasikan sebagai berikut: penduasa dapat memberikan akses kepada para pengusaha untuk melakukan eksploitasi rente ekonomi yang merugikan konsumen dan masyarakat luas. Di lain pihak pengusaha diuntungkan, dan bagian keuntungan tersebut harus dibayar (diserahkan) kepada pemberi akses tadi, yaitu penguasa (Lihat Siti Akhiriah Nasution, “Korupsi dan Kekuasaan”, Opini, Januari 2010)
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain adalah korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah literature ekonomi-politik, sering disepadankan dengan praktek politik di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi secara tertutup (idak diketahui oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti ini membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan (mafia hukum) sehingga hukum seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu (Lihat Didik J. Rahbini, 1996: 92)
Sistem korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak yang dirugikan. Dalam prakteknya, korporatisme biasanya berbarengan dengan praktek-praktek haram lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam prakteknya adalah menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh kekuntungan ekonomi, yang prakteknya berwatak “koruptif”. Praktek-praktek seperti ini dapat dilihat jelas pada masa Orde Baru, yang pada saat itu terjadi distribusi modal yang hanya dinikmati segelintir orang atau pengusaha (yang umumnya adalah keluarga Soeharto) dan terdapat praktek monopoli dalam produksi (Agus Suradika, op cit., h.7)
Seperti yang disampaikan oleh Amien Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa bagaimanapun tindakan korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya persengkongkolan (korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama yang pada awalnya membuka akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para pengusaha (sektor swasta, yang berpotensi memberikan rangsangan kepada penguasa untuk membuka akses kemudahan bagi pelanggaran hukum). Korupsi atau kejahtan korporasi juga didorong oleh pengaruh hasrat dan ketamakan dari dalam diri seseorang (dalam hal ini adalah penguasa), serta tuntutan keluarga (korupsi nepotistik).
Prof. Muhammad Mustofa, dalam bukunya Kleptokrasi, menjelaskan keterkaitan konsep keluaga dalam tatanan sosial Indonesia dengan tindakan korupsi. Dalam masyarakat Indonesia, keluarga dimaknai sebagai kelompok yang tidak hanya terdiri dari ayah, ibum dan anak-anak (keluarga batih), tetapi juga berupa konsep keluarga besar yang meliputi seluruh kerabat dekat dan kerabat jauh, seperti nenek dan nenek, paman dan bibi beserta anak-anaknya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Dalam tatanan sosial terdapat suatu tuntutan dan harapan peran agar setiap individu di dalam keluarga itu bertanggung jawab terhadap anggota-anggota keluaraga besa yang sedang tidak beruntung (Muhammad Mustofa, 2010: ix)
Pola seperti ini memang memiliki manfaat yang baik. Konsep keluarga besar ini tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme yang memiliki potensi untuk mengatasi masalah sosial, seperti pengengguran dan kemiskinan. Namun begitu, konsep keluarga besar seperti ini juga memiiki potensi yang tak kalah kuatnya untuk mendorong ke situasi yang kondusif bagi dilakukannya tindakan penyimpangan. Ketika ada tuntutan dan tanggung jawab yang diemban untuk saling membantu anggota keluarga yang sedang susah, seseorang berada pada titik di mana dia harus memberikan bantuan materil (terkadang pemberian pekerjaan). Keadaan seperti ini sama saja dengan “lebih besar pasak dari pada tiangnya” sehingga individu tersebut harus mencari tambahan penghasilan untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini lah yang kemudian menyebabkan individu sering melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan jalan yang tidak sah, misalnya korupsi (Ibid., h.x)
Korupsi merupakan white-collar crime
Merujuk kepada pengertian white-collar crime yang menunjukkan suatu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat, sesungguhnya kasus korupsi Gayus Tambunan sangat dapat dilihat dari pisau bedah ini.
Yang pertama sekali harus diperhatikan adalah kata “orang terhormat” tersebut. Bisa jadi ini dapat menimbulkan pengertian yang bias tentang status Gayus Tambunan yang hanyalah seorang pegawai rendahan di kantor pusat pajak. Oleh karena itu, penulis lebih menekankan pengertian white-collar ini sebagai istilah yang memiliki makna pada awal kemunculannya, yang digunakan oleh Sloan, yaitu white-collar yang menunjuk kaum penerima gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya. Dari sini, Gayus termasuk dalam kategori yang dimaksudkan.
Tipologi dari white-collar crime yang dibuat oleh Clinard dan Quinney (1973) adalah occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dua tipologi ini kemudian dibagi menjadi lima tipe cirri pelaku dan tujuan, yaitu 1) pelanggaran individu sebgai individu, 2) pelanggaran pegawai terhadap majikan, 3) pelanggaran pejabat pembuat keibjakan untuk kepentingan umum, 4) pelanggaran agen korporasi terhadap kepentingan umum, dan 5) pelanggaran oleh pedagan terhadap konsumen (Lihat Muhammad Mustofa, 2010: 26)
Kejahatan korupsi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang terhormat tadi. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh individu sebagai individu, atau pegawai terhadap majikannya (kasus penggelapan). Melihat secara sepintas kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus, tindakannya temasuk dalam kategori ini, yaitu dilakukan oleh individu sebagai individu demi keuntungan yang dinikmati oleh individu. Namun demikian, adanya dugaan keterlibatan para pengusaha lain, seperti Andi Kosasih, dan para petinggi dari Kepolisian, menjadikan kasus korupsi Gayus (makelar kasus) sebagai bentuk dari kejaharan korporasi (dilakukan oleh organisasi, dalam bentuk struktur organisasi yang saling menguntungkan dan melindungi, serta melempar tanggung jawab). Aksi seperti ini termasuk dalam tipe 3 dan tipe 4 yang disampaikan oleh Clinard dan Quinney, yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan atau pihak tertentu; pelanggaran yang dilakukan oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum. Berkaitan dengan hal ini, pengusaha memanfaatkan posisi Gayus untuk mempermudah prosedural pengurusan pajak, dan bahkan melibatkan pihak kepolisian untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan.
Prof. Muhammad Mustofa, memberikan penjelasan tentang teori yang digagas oleh Sutherland, berkaitan dengan kasus korupsi ini. Sutherland menganalisa dan menjelaskan gejala white-collar crime dengan menggunakan teori different association. Sutherland menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukan merupakan kelanjutan dari kenakalan yang pernah dilakukan pada masa anak atau remaja. Konsep ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan atas yang berpendidikan. Ketika para pelaku ini belajar masalah bisnis, pada saat itu pula lah mereka belajar tentang bagaimana cara melakukan pelanggaran hukum (dalam  different association dikatakan bahwa kejahatan didapat dari proses belajar). Konsep bisnis dihayati sebagai sikap untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Dalam melakukan bisnis ini, sering terjadi penyelewengan hukum demi kelancaran jalannya bisnis. Penyimpangan sengaja dilakukan untuk meningkatkan keuntungan. Misalnya pelaku usaha yang sengaja membuat iklan terlalu berlebihan dan menyesatkan (terdapat unsur kebohongan) agar konsumen mau membeli produk mereka. Hal ini merupakan sebagian kecil dari banyak contoh yang memperlihatkan bentuk kecurangan dalam perilaku bisnis. Biasanya dalam melakukan kecurangan, pelaku bisnis jarang sekali mendapatkan kritik dari media massa, karena sejatinya media massa juga merupakan palaku bisnis. Para pelaku bisnis terbebas dari kritik dan terbebas dari kemungkinan diajukan ke pengadilan karena mereka mempuyai hubungan yang erat dengan birokrasi (Muhammad Mustofa, 2010: 43)
Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, jelaslah sudah bahwa teori different association dapat dijadikan landasan sebagai pisau untuk menjelaskan mengapa korupsi dapat terjadi dan dilakukan oleh seorang individu. Menurut yang diberitakan dalam Republika Online, Gayus semasa muda adalah orang yang berpendidikan, terkenal sebagai anak muda yang baik, ramah, dan pintar dalam mengatur keuangan. Keluarganya dipandang cukup berada pada masa itu. Selain itu, Gayus juga merupakan seorang tamatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan nilai yang cukup memuaskan meskipun tidak dapat dikatakan sebagai nilai yang spektakuler, Maret 2010). Tentunya semua kelihaian Gayus dalam mengolah data keuangan di kantor pusat pajak ia dapatkan dari bekalnya menuntut ilmu tersebut. Akan tetapi kemahiran dalam melakukan pelanggaran hukum didapatkan di lapangan, setelah ia terjun langsung dalam dunia perpajakan dan bisnis (dalam hal ini bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk mendapatkan laba/keuntungan).
Tidak hanya kepada Gayus, teori ini juga dapat ditunjukkan kepada pelaku usaha yang bekerja sama dengan Gayus Tambunan. Semua pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku bisnis, sesuai dengan teori tersebut, merupakan hasil belajar dari pengalaman, belajar di lapangan, yang terpicu karena penghayatan pelaku bisnis yang memaknai kegiatan mereka adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Atas dasar ini, pelanggaran hukum telah menjadi suatu kebiasaan, atau bahkan mereka terisolasi dari pengertian yang menegaskan bahwa pelanggaran hukum yang mereka lakukan adalah salah.
Adanya faktor tuntutan dari konsep keluarga besar yang ada dalam masyarakat Indonesia, wewenang yang dimiliki (kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi, persengkokolan (korporasi) menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang sudah biasa dan lazim saja dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengerucutkan semua faktor-faktor yang ada tersebut, semuanya kembali kepada hati nurani dan keimanan seseorang dalam mengambil sikap dan melaksanakan amanah yang mereka emban.


Kesimpulan dan Saran
Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua kalangan  di dalam masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, korupsi yang sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan atas, kau elite, dan para pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang strategis.
Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan  baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.
Korupsi juga dapat terjadi karena kurangnya kesadaran untuk mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. Ketika di dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi konsep keluarga besar menjadi sebuah faktor individu untuk berada di situasi yang sulit dalam menutupi kekurangan ekonomi, pengaruh-pengaruh dari keluarga dan kerabat dapat menyebabkan munculnya sikap untuk melakukan kecurangan dan pelanggaran hukum. Individu yang melakukan korupsi gagal dalam memilah antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Korupsi terjadi karena hilangnya rasa tanggung jawab dan rasa malu di dalam diri pelakunya.
Korupsi juga tidak datang begitu saja di pikiran seorang pelaku. Dia dipahami seabagai suatu tindakan melanggara hukum dan diperoleh melalui proses belajar. Sesuai dengan teori different association, kemungkinan terbesar aksi pelanggaran hukum ini dipelajari ketika seseorang mulai belajar melakukan bisnis atau usaha untuk mencari keuntungan. Semakin kuatnya paham setiap pelaku bisnis bahwa mendapatkan keuntungan (materil) adalah tujuan utama dari suatu bisnis, menyebabkan pelangaran hukum, seperti korupsi, menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Selain itu, semakin bertambahnya anggota yang memiliki paham yang sama tentang keuntungan tersebut, menjadikan korupsi sebagai lahan untuk mencari uang sehingga membuka lebar untuk terjadinya tindakan kejahatan korporasi.
Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan: korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan korupsi di negeri ini. Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

TUGAS SOFSKIL KEWARGANEGARAAN


 TUGAS SOFSKIL
KEWARGANEGARAAN

BANK CENTURY












DEWI SRI LESTARI
N.P.M : 51211973
KELAS : 1DF01












BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKasus Bank Century yang berkelanjutan membuat masyarakat menjadi bingungmengenai kebenaran dari kasus tersebut. Makalah ini dibuat sebagai tugas dari dosenPendidikan Kewarganegaraan mengenai , “Hubungan Politik dengan Pancasila”yang mengangkat contoh kasus “Hak Angket Bank Century”. Sadar atau tidak sadar  bahwas Kasus Skandal Century telah menyita perhatian sebagian besar masyarakatkita, khususnya dari kalangan mahasiswa sebagai kaum intelek masyarakat. Denganadanya makalah ini diharapkan kaum mahasiswa dapat mengetahui
detail permasalahan yang ada dalam tubuh Bank Century, sehingga nantinya dapatmenjelaskan kepada masyarakat bagaimana sebenarnya yang terjadi dan upaya apayang telah dilakukan sebagai penyelesaian dari proses yang berkepanjangan ini.

1.2 Tujuan dan ManfaatTujuan dan manfaat yang dapat diambil dari berjalannya kasus Century yangsedang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini adalah agar kita semua selalu melihataturan-aturan atau undang-undang dalam memecahkan sebuah masalah. Kita jugadianjurkan agar tidak terburu-buru dan berhati-hati dalam mengambil sebuahkeputusan. Setiap apa yang akan kita putuskan, seharusnya di musyawarahkan dan
juga dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait lainnya, agar nantinya tidak adayang dirugikan, apalagi apabila keputusan kita menyangkut kepentingan orang banyak, setiap apa yang kita lakukan harus ada transparansi sehingga ke depannyatidak menimbulkan konflik. Dengan hadirnya kasus Skandal Bank Century, tentunyaakan menjadi suatu pelajaran dan juga pengalaman untuk kita ke depannya, agar halini tidak sampai terjadi untuk yang kedua kalinya

















BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Politik Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatandalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusanmengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksiterhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yangtelah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukankebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasidari sumber-sumber yang ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan dan kewenangan yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkintimbul dalam proses itu.Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar dilingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan
oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukantindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun
dalam aspek kehidupanlainnya. Demikianlah politik selalu
menyangkut tujuan-tujuan dari seluruhmasyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan juga kegiatan-kegiatan perseorangan(individu).

 
2.2 Hak angketBerdasarkan Pasal 77 UU No 27 Tahun 2009, yang dimaksud dengan hak angketadalah Hak DPR RI untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatuundang-undang atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.Berdasarkan UU tersebut, hak angket harus diusulkan oleh paling sedikit 25 anggotaDPR dan lebih dari 1 fraksi.Pengusulan ini harus memuat:(a.)materi kebijakan dan / atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan(b.) alasan penyelidikan.Usulan tersebut akan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan darirapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusandiambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir. Bilausulan diterima, DPR akan membentuk panitia angket (Pansus).yang mempunyaikewenangan untuk memanggil dan melakukan penyelidikan terhadap pemerintah, dansaksi, pakar, organisasi profesi dan lain-lain.
disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah menguntungkan rakyat, dan sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku, maka Pemerintah akan aman. Namun apabila merugikan negara, merugikanrakyat serta bertentangan dengan
 peraturan perundangan yang berlaku, apalagimelanggar ketentuan UUD 1945,
 laporan Pansus harus disampaikan ke rapat paripurna DPR. Kemudian keputusan DPR tersebut disampaikan kepada Presiden.Selanjutnya DPR dapat menindaklanjuti keputusan itu sesuai kewenangan DPR.Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi, maka Mahkamah Konstitusilahyang harus memutuskan apakah pendapat DPR itu terbukti atau tidak. Jika MK memutuskan memang terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR


 
BAB III PEMBAHASAN

Saya sebagai mahasiswa melihat bahwa sejak awal bank century bermasalah darimulai awal merger. Yaitu tepatnya pada 27 November 2001, pada saat itu Rapat DewanGubernur Bank Indonesia menyetujui prinsip akuisisi Bank Pikko, Bank Danpac, danBank CIC. Namun pada saat 5 Juli 2002 saat izin akuisisi dari BI keluar, BI mulaimencium perbuatan melawan hukum. Bank Century mulai melakukan transaksi surat-surat berharga (SSB) fiktif senilai USD25 juta. Selain itu terdapat pula SSB berisikotinggi sehingga Century wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). Ini berakibat CAR Bank CIC menjadi negatif. Kondisi inilah yang membuat penarikan dana pihak ketiga besar-besaran yang mengakibatkan bank mengalamikeseretan likuiditas dan telah melanggar ketentuan posisi devisa netto (PDN). Padatanggal 13 November 2008 Bank Century mengalami keadaan tidak bisa membayar dana permintaan dari nasabah atau umumnya disebut sebagai kalah kliring keadaan ini hinggamembuat terjadinya kepanikan atau rusuh,
dalam penarikan dana pada Bank Century.Kemudian, pada tanggal 14
November 2008 manajemen Bank Centurymelaporkan
ketidakmampuan bank dalam melayani permintaan dana oleh nasabah, sertaikut mengajukan permohonan untuk mendapatkan fasilitas pendanaan darurat kepadaKomite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Sebagai pemegang mandat UU, Pemerintah bermaksud untuk mencegah krisis, tapi di sisi lain yang dihadapi adalah bank yangkualitasnya seperti bank century. Pada tanggal 20 November 2008 Bank Indonesiamelakukan penetapan status Bank Century menjadi bank gagal, Menteri Keuangan yangdijabat oleh Sri Mulyani selaku Ketua dari Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK)mengadakan rapat untuk pembahasan nasib Bank Century, dalam rapat tersebut, BIdiwakili oleh Gubenur BI yang dijabat oleh Boediono menyatakan bahwa rasiokecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century telah minus hingga3,52 persen, dalam rapat tersebut akhirnya diputuskan untuk menyerahkan Bank Centurykepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yaitu dengan keputusan bailout terhadapBank Century sebesar Rp 6,7 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencurigaiadanya dugaan rekayasa untuk penambahan dana. Pihak Pusat Pelaporan dan Analisis


 
Transaksi Keuangan (PPATK) juga dicurigai berusaha untuk menutup-nutupi data alirandana tersebut, akan tetapi kemudian dibantah oleh Yunus Husein, Kepala Pusat Pelaporandan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun menurut saya, saya setuju denganBPK bahwa Penyaluran Modal Sementara (PMS) oleh Lembaga Penjamin Simpanan(LPS) kepada Bank Century patut dicurigai, karena saat itu adalah saat-saat pemilu 2009, jadi bisa saja dana tersebut di kamuflase sedemikian hingga dan akhirnya bisa dijadikanmodal untuk pemilu 2009, karena pada saat itu Boediono sedang di calonkan sebagaiwapres.Kemudian sebagian anggota DPR yang mengusulkan agar dilakukan penggunaansalah satu hak kewenangan konstitusional DPR yakni Hak Angket DPR dalammenangani kasus Century ini. Yang akhirnya ditindak lanjuti dengan diadakannya SidangParipurna Pengesahan Hak Angket Bank Century pada tanggal 1
Desember 2009terhadap usulan penggunaan hak angket DPR yang diusulkan oleh 503 Anggota DPR tersebut yang akhirnya
disahkan dan disetujui. Penggunaan hak angket untumengungkap skandal Bank Century juga didukung oleh seluruh fraksi yang berada diDPR yakni 9 Fraksi. Fokus pelaksanaan hak angket dalam kasus Bank century antara lainuntuk mengetahui sejauh mana pemerintah melaksanakan peraturan perundang-undangansampai akhirnya memutuskan untuk mencairkan dana sebesar Rp 6,76 triliun untuk Bank Century, dan juga mengapa bisa terjadi perubahan Peraturan Bank Indonesia secaramendadak, keterlibatan Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji, dalam pencairan dana nasabah Bank Century, dan kemungkinan terjadi konspirasi antara para pemegang saham utama Bank Century dan otoritas perbankan dan keuangan pemerintah,menyelidiki mengapa bisa terjadi pembengkakan dana talangan menjadi Rp 6,76 triliun bagi Bank Century? Itulah yang harus diselidiki, sementara kita tahu bahwa Bank Century hanyalah sebuah bank swasta kecil yang sejak awal bermasalah, bahkan saatmenerima bailout, bank ini dalam status pengawasan khusus, lebih jauh lagi, panitia hak angket juga akan mengetahui seberapa besar kerugian negara akibat Bank Century.Kebijakan pemerintah ”menyelamatkan” Bank Century dengan sendirinya dapatdijadikan sebagai objek dari hak angket DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangannegara. Namun, apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan UU sebagaimana.
dugaan DPR, inilah yang harus ”dibuktikan” melalui penggunaan hak angket itu. Dalam proses penyelidikan, Panitia Hak Angket DPR dapat mengumpulkan fakta dan bukti bukan hanya dari kalangan pemerintah, tetapi dari
 siapa saja yang dianggap perlu,termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai masalah yang diselidiki. Mereka wajibmemenuhi panggilan Panitia Angket dan menjawab semua pertanyaan dan memberikanketerangan
 lengkap, termasuk menyerahkan semua dokumen yang diminta, kecualiapabila penyerahan dokumen itu akan bertentangan dengan \
kepentingan negara. Merekayang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 1954).Pengusulan hak angket Bank Century juga terkait dengan kesalahan struktur  berpikir pemerintah. Pemerintah melupakan amanat konstitusi bahwa salah satu tujuandibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti termaktub dalam PembukaanUUD 1945 paragraf ke-4, ialah memajukan kesejahteraan umum. Di tengah badai krisisekonomi dan rentetan bencana alam yang terjadi di hampir seluruh wilayah RI, pemerintah malah ”memanjakan” Bank Century. Sungguh sangat ironis.Ketika menjelang babak akhir pembahasan kasus bank Century di Pansus DPR,Presiden SBY membuat pernyataan mengejutkan bahwa sebagai Presiden ia bertanggung jawab atas apa yang telah diputuskan oleh bawahannya (dalam hal ini Budiono dan SriMulyani). Saya menjadi heran, mengapa tidak dari awal permasalahan saja SBY berkataseperti itu, Seandainya saja Presiden SBY membat pernyataan di awal dari berbagaikejadian ini, maka mungkin keadaan tidak separah ini. Masyarakat pada umumnyamerasa ‘abu-abu’ atau tidak yakin apakah presiden mengetahui atau tidak soal bail-out bank Century mengingat beliau ‘diam’.

 
BAB VIHASIL PENELITIAN

Kasus Skandal Bank Century hingga saat ini belum juga berakhir dan masihmenimbulkan banyak pertanyaan, namun yang saya lihat dari media, beberapa fraksi diDPR menyebutkan beberapa nama yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini.Anggota Pansus Hak Angket DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) misalnya, FPGmelihat ada indikasi tindak pidana korupsi dalam penyelamatan kasus Bank Century.“Berdasarkan fakta, terdapat indikasi tindak pidana korupsi dalam permasalahan Bank Century,” kata juru bicara FPG Ade Komaruddin. Ade menjelaskan, dalam proses penyelamatan Bank Century, pihaknya
menemukan beberapa pelanggaran sehingga layak disebut ranah korupsi. Pertama, ada upaya melakukan tindakan melawan hukum. Golkar  juga menduga ada upaya pihak-pihak tertentu yang memperkaya diri sendiri, orang lainatau korporasi. FPG menyebut banyak nama-nama yang dianggap bertanggung jawabdalam kasus Bank Century. Mulai dari pemilik Bank CIC, manajemen Bank Centuryyang lama maupun yang baru, Pejabat BI dalam periode proses
 penyelamatan Bank Century hingga nasabah Bank Century yang turut menikmati uang penyelamatan itu.Selain itu dari fraksi PDIP, FPDIP menyebut beberapa nama sebagai pihak yangdianggap paling bertanggung jawab dalam proses penyelematan Bank Century. Kepada penegak hukum seperti KPK diminta untuk segera mengusut Boediono dan Sri Mulyanikarena FPDIP merinci beberapa kesalahan dan indikasi pelanggaran hukum yangdilakukan oleh Boediono dan Sri Mulyani. Dalam hal merger dan akuisisi,
 indikasi pelanggaran hukumnya adalah pengawasan internal BI.Dari pendapat beberapa fraksi tersebut ditambah lagi dari berbagai media, sayamenyimpulkan bahwa kebanyakan dari berbagai fraksi di DPR berpendapat bahwa yangharus bertanggung jawab dalam kasus ini adalah Boediono yang saat itu menjabat sebagaiDirektur BI dan juga Sri Mulyani yang saat itu juga menjabat sebagai menteri keuangan. Namun Pansus hingga saat ini belum menyebutkan siapa yang harus bertanggung jawabakan kasus ini, semuanya masih buram dan penyelidikan juga masih terus dilakukan.

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

Saya selaku mahasiswa yang melihat kasus Century dari awal sampai akhir  belum menemukan hasil yang sebenarnya yang dikeluarkan oleh Pansus Century. Sampaidengan informasi terakhir penanganan kasus Hak Angket Bank Century yang sedang berjalan, saya berpendapat bahwa DPR memang sudah seharusnya mengeluarkan Hak Angket terhadap kasus Bank Century yang disebut-sebut sedang mengalami krisis global.Dan khusunya Pansus Hak Angket tersebut harus senantiasa bersikap se-objektif mungkin dalam menyelesaikan persoalan ini dan melihat fakta yang ada serta memangfakta tersebut terbukti benar adanya dan tidak merupakan sebuah
kebohongan untuk menjatuhkan salah satu pihak demi kepentingan Pansus sendiri, sehingga nanti apa yangtelah disampaikan oleh Pansus bias
dipertanggungjawabkan terhadap semua pihak yangterkait serta pihak yang diduga bermasalah dengan keputusan untuk mengalirkan danayang dikucurkan kepada Bank Century pada saat itu.Masyarakat sudah terlalu bingung dan juga bosan dengan kasus yang ta berkesudahan ini, masyarakat perlu informasi dan kebenaran kasus ini secepatnya. Jadisaran saya untuk Pansus yaitu, cepatlah dalam menangani kasus ini, dan bersikaplah tegasterhadap segala sesuatunya, tidak peduli siapa nantinya yang terpidanakan karena kasusini dan apa jabatan orang tersebut, yang penting masyarakat tahu dan tidak harusmenyalahkan orang-orang yang tidak seharusnya dipersalahkan. Harusnya Pansus jugalebih terbuka dan jujur dalam
mengungkapkan misteri ini. Agar semuanya dapat selesaisesuai dengan
kebenarannya.