TUGAS SOFSKIL
KEWARGANEGARAAN
KORUPSI
DEWI SRI LESTARI
N.P.M : 51211973
KELAS : 1DF01
Pendahuluan
Latar
Belakang
Permasalahan korupsi
yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh.
Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah
merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang
telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum
elite.
Banyak kasus korupsi
yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya adalah
kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA, yang
sempat menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua orang
terhadap apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal yang
wajar. Karena apabila kita melihat dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai
negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp. 25
Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya: Apalagi kalau bukan korupsi?
Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak
(banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak.
Mengingat gaji pegawai pajak setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara
Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang
Gayus Tambunan pasti telah melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan
masyarakat banyak.
Seperti yang telah
diberitakan oleh berbagai media bahwa nama Gayus Tambunan mulai mencuat ketika
disebutkan oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji sebagai seseorang yang
berkaitan erat dengan makelar kasus. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp 25
miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang disita negara. Sisanya Rp
24,6 miliar menguap entah ke mana. Susno mengutarakan bahwa ada
keterlibatan dari tubuh Polri sendiri dalam kasus manipulasi pengusutan pajak.
Gayus kemudian
dituntut kepolisian dengan tiga pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang,
dan korupsi. Namun pada persidangan itu Gayus hanya dituntut dengan pasal
penggelapan, divonis oleh hakim dengan hukuman 1 tahun percobaan, kemudian
dibebaskan. Terdapat berbagai kejanggalan di pengadilan Gayus saat itu, antara
lain soal ancaman hukuman yang ternyata lebih ringan dari ketentuan
Undang-Undang, tuntutan dari jaksa yang hanya berupa tuntutan soal penggelapan
uang, serta penggelaran persidangan yang dilakukan di hari Jumat, di Pengadilan
Negeri yang biasanya tidak digelar persidangan pidana, Maret 2010).
Modus Gayus
melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam
posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan
Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus
banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk
memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih
pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak
Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu
Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Corruption Watch
(ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs Rupiah saat
menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut
menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu, November 2009).
Kini Gayus Tambunan
kembali ditetapkan sebagai terdakwa dan dijerat pasal berlapis yakni korupsi,
pencucian uang dan penggelapan. Kasus Gayus kini melebar dan melibatkan
sejumlah pihak. Namanya mencuat kembali saat dirinya diduga bebas berkeliaran
keluar dari rumah tahanan. Gayus Tambunan, entah mengapa, mendapatkan perlakukan
khusus yang sangat tidak masuk akal.
Perkembangan terkini
dari penanganan kasus korupsi Gayus Tambunan semakin membuat masyarakat jengah.
Gayus Tambunan sebagai tersangka korupsi seolah-olah memiliki kuasa sahingga
dia selalu mendapatkan perlakuan istimewa. Terakhir, dia kembali mendapatkan
perlakuan istimewa di depan hukum, yaitu kepolisian hanya menjeratnya dengan
pasal gratifikasi, di mana dia hanya dapat dihukum maksimal 3 tahun penjara.
Dalam berbagai perkara yang pernah ada, seseorang yang terjerat pasal
gratifikasi sering lolos dari jeratan hukum. Hal ini kemudian menyebabkan
krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum dalam menangani
kasus Gayus. Oleh karena itu masyarakat banyak yang mendesak agar kasus Gayus
ditangai oleh
KPK.
Akan tetapi, Presiden
Susilo Bambang
Yudhoyono sendiri tetap menegaskan bahwa kasus Gayus tetap ditangai
oleh Polisi. Padahal, telah jelas terlihat bahwa Kepolisian sendiri tidak
serius dalam menangani kasus korupsi Gayus sehingga menyebabkan kasus ini tidak
menemui ujungnya, Desember 2010).
Hal ini kemudian
menjadi pertanyaan penting bagi kita semua. Ada apa dengan negeri ini? Mengapa korupsi
tetap saja dapat berjaya dan bersemayam di tubuh semua lembaga, bahkan di
lembaga yang seharusnya memiliki kewajiban untuk memberantas korupsi itu sendiri.
Ini menjadi tantangan bagi bangsa
dan Negara dalam mengatur dan menata kehidupannya.
Masalah
Pertanyaan yang
penting untuk dijawab di sini adalah bagaimana bisa muncul suatu penyakit,
yaitu korupsi. Mengapa dia menjadi benalu yang tidak pernah lepas dari
kehidupan berbangsa dan bernegara? Bahkan korupsi telah menjamah semua kalangan
di dalam masyarakat. Yang lebih memprihatinkan adalah korupsi terus bersarang,
dan sarangnya semakin besar, di kalangan atas, para elite, pejabat, dan
pemimpin yang memiliki kuasa dalam mengatur kesejahteraan masyarakat umum.
Mengapa korupsi bisa
terjadi? Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, melihat keterkaitan korupsi
dengan kekuasaan, tindak kejahatan korporasi dan birokrasi, adalah hal yang
akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini terletak pada
kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan
petinggi Negara semakin serius sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi Negara
dan masyarakat.
Tujuan
Tujuan dari makalah
ini adalah untuk memahami mengapa munculnya suatu tindakan korupsi dalam sebuah
kekuasaan, bahkan dalam praktek-praktek penegakan hukum sekalipun. Selain itu,
dengan pembahasan dalam makalah ini, diharapkan juga dapat diketahui apa-apa
saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan korupsi di kalangan
atas, para elite, dan pejabat pemerintah.
1.Korupsi
Secara etimologi,
kata korupsi berasal dari
bahasa Latin,
yaitu
corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja
corrumpere
yang bermakna menghancurkan (
com memiliki arti intensif atau
keseungguh-sungguhan, sedangkan
rumpere memiliki arti merusak atau
menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara
harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara
intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata
corruption diartikan
sebagai
to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc.,
esp. by bribery (Lihat
“Corrupt
| Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com.
Retrieved 2010-12-06.)
Sejatinya, ada
begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli. Huntington (1968) memberikan
pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini
Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan
jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi
juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk
keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak
mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini maksudnya
adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan
sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan
peran (Agus Suradika, 2009: 2). Selain itu, korupsi juga dapat dikatakan
sebagai representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik (Wahyudi
Kumorotomo, 2005: V)
Nye, J.S. (1967)
dalam “Corruption and political development” mendefiniskan korupsi sebagai
prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan
seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan
pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status (lihat Agus Suradika, 2009: 2).
Amin Rais, dalam
sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi
jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif
(extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di
mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan
proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja
memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha,
perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan
sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative
corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk
mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka
memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada
bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat
menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini
umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi
nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa
yang diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para
pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak,
menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat,
korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu
berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat
negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
Kekuasaan
Kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya
seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang yang mempunyai kekuasaan itu.
Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua
organisasi sosial (Miriam Budiarjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik, 1995: 35)
Kekuasaan sosial
adalah kemampuan untuk mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara
langsung dengan jalan member perintah, maupun secara tidak langsung dengan
mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia (Robert M. Maclver, 1961: 87).
Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan
oleh kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih unggul daripada yang
lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa dalam sejarah
masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih kecil
dari pada yang dikuasai (op cit., h.36)
Kekuasaan politik
adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik
terbentuknya mamupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang
kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial,
dan fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang
untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan (ibid., h.37)
White-collar
crime
Pengertian dasar
dari konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah
untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial
ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang
dibuat untuk mengatur pekerjaanya” (Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas
sosial ekonomi ini, menurut Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang
berada di kelompok orang-orang terhormat.
Atas dasar
pengertian di atas, tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan
peracunan tidak dapat dikategorikan sebagai white-collar crime
meskipun kejahatan itu dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi
tinggi karena tindakan itu tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan
yang dilakukan oleh penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian,
yang memiliki kaitan erat denganpe pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan
sebagai white-collar criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk
dalam golongan orang terhomat (Muhammad Mustofa, 2010: 17).
White-collar
yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang merupakan orang-orang
terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya digunakan oleh Sloan,
Direktur General Motors dalam bukunya The Autobiography of a White Collar
Worker, yang memiliki arti lebih luas. White-collar menunjuk kaum
peneruma gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya,
seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya (Lihat
Sutherland, 1949: 9, catatan kaki 7)
Pelanggaran-pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan
wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan
jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan
negara yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi
praktik-praktik yang demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang
menjadi mesin utama bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan
terjadinya kejahatan oleh kerah puitih. White-collar crime dalam
bentuk kejahatan korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan
perlindungan konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal
loging).
Terdapat dua
kategori kejahatan dalam dimensi white-collar crime, menurut Clinard
dan Quinney (1973), yaitu occupational criminal behavior dan corporate
criminal behavior. Dalam menjabarkan cirri-ciri occupational crime
behavior, Clinar dan Quineey merujuk kepada rumusan tipologi oleh Bloch
dan Geis (1970), yaitu perbuatan yang dilakukan:
-
Oleh individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);
-
Oleh pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);
-
Oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);
-
Oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan)
-
Oleh pedagan terhadap konsumen (pelanggaran konsumen)
Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar
crime yang berangkat dari tipologi yang diutarakan oleh Edelhertz,.
Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:
-
Kejahatan oleh orang-orang yag bekerja secara individual dan sementara (ad
hoc), misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, penipuan
kebangkrutan dan lain-lain;
-
Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) ileh orang yang
mengoperasikan bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam
bentuk pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank lien,
misalnya penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;
-
Kejahatan yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis,
misalnya pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan makanan,
dan obat-obatan;
-
White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas utama.
Konsep ini termasuk dalam bahasan kejahatan professional, misalnya penipuan
layanan pengobatan dan kesehatan, undian palsu, dan sebagainya (lihat Muhammad
Mustofa, 2010: 28)
Ketentuan tipologi yang pertama dan kedua
adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh individu, sedangkan ketentuan yang
ketiga dan keempat merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan oleh organisasi.
Kejahatan
Korporasi
Kejahatan korporasi
tidak dapat dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang, tetapi
harus sebagai tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat
dipahami melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai
organisasi yang secara kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan
tingkah laku yang melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi korporasi
ini sangat luas sehingga menopang keadaan yang mendorong terjadinya penimpangan
oleh organisasi, disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara luas. Kodrat
tujuan korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan cirri iklim sosal
industry dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati
pelanggaran hukum (Clinard, Yeager, 1980: 43)
Di dalam korporasi,
terdapat jenjang-jenjang yang memungkinkan setiap jenjang tersebut memiliki
sikap tidak bertanggung jawab (pelembagaan sikat tidak bertanggung jawab). Hal
ini menyebabkan korporasi bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang
membolehkan setiap orang di dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum.
Dari situasi seperti inilah kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka,
eksekutif korporasi, dapat mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa
cara-cara tidak sah dalam mencapai tujuan korporasi yang dirumuskan secara umum
sdah merupakan sarana yang tersedia tanpa dapat dikendalikan (Ibid.,
h.44)
Differential
Association.
Differential
Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan
kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland
ini, berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui sebuah
cara yang kurang memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya
dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan melalui
interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan perilaku
menyimpang.
Sutherland
memberikan 9 prinsip dari teori Differential Association, yaitu:
1)
Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari
2)
Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan
orang lain melalui proses komunikasi
3)
Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary group (keluarga, teman,
teman sepermainan atau sahabat paling dekat)
4)
Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik,
tujuan, rasionalisasi, kebiasaan dan sikap sehari-hari.
5)
Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang
menguntungkan dan tidak menguntungkan.
6)
Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa
dengan melanggar hukum akan mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada
tidak melanggar hukum.
7) Differential
association bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8) Proses belajar
menjadi jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam pembelajaran
lainnya.
9)
Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan
sikap, perilaku kriminal dan tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh
kebutuhan dan sikap sama, sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh
kebutuhan umum dan sikap sama.
Pembahasan
Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari
apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini
telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk”
bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang selalu
berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari pernyataan yang
disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Terdapat sebuah postulat yang mengatakan bahwa
korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan. Dalam artian bahwa korupsi itu ada
baik di pemerintahan yang sentralistik maupun desentralistik. Jika pemerintahan
suatu negara adalah sentralistik, korupsi juga akan bersifat sentralistik.
Semakin kuat kekuasaan itu tersentral, semakin besar pula terjadi kasus korupsi
di kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru.
Sebaliknya, jika pemerintahan suatu negara adalah desentralistik, misalnya
dengan Otonomi Daerah, tindakan korupsi akan tersebar pula mengikuti pola
pemerintahan desentralistik tersebut. Dengan kata lain, praktek korupsi juga
terjadi di pemerintahan tingkat daerah. Karena kekuasaan berpindah dari satu
pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya
berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada masa
sekarang di Indonesia (Lihat Agus Suradika, 2009: 1)
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku
yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang
dilakukan oleh seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi
cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap
sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan
bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi
manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama
dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan
keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh
paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya
untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia
memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia
melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks
kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap,
merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi
yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para
pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan
tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang
memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk
mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan
(kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat)
secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara
(pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya
merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan
pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya tindakan
korupsi besar sekali.
Mengacu pada kasus
korupsi Gayus Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan
oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan
wewenang. Seperti yang kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat pajak,
memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang
demikian sangat memudahkannya untuk memanipulasi data, mempengaruhi suatu
kebijakan sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya sendiri.
Menurut sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan pelanggaran
dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai
Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007
Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan
dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam
pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan
banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3
Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus
memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch
(ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat
menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut
menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu, November 2009).
Dari perkara-perkara seperti ini lah Gayus berhasil mendapatkan keuntungan
tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang merupakan ‘senjata’ dari
sebuah kekuasaan dan kewenangan.
Manusia memiliki
sifat dasar untuk terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi kebutuhan
pokoknya. Oleh karena itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan pribadi tetap
membayangi manusia di dalam melaksanakan kewajibannya, yang seharusnya
kewajiban itu menuntut seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan
mengutamakan kepentingan umum dan tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa
Gayus Tambunan. Ada
kecurigaan bahwa kasus korupsi, penggelapan dan pencucian uang disebabkan oleh
suap yang dilakukan oleh para pengusaha agar mau memudahkan jalan bagi usaha
mereka. Seperti misalnya ketika Gayus menerima aliran duit sebesar Rp 370 juta.
Selain itu, ada keterlibatan pengusaha bernama Andi Kosasih dalam kasus korupsi
Gayus Tambunan.
Korupsi yang
merugikan negara dan masyarakat banyak biasanya bermula dari penguasa
Kaitan tindakan
kejahatan, korupsi, antara penguasa dan keterlibatan para pengusaha, secara
sederhan dapat diilustrasikan sebagai berikut: penduasa dapat memberikan akses
kepada para pengusaha untuk melakukan eksploitasi rente ekonomi yang merugikan
konsumen dan masyarakat luas. Di lain pihak pengusaha diuntungkan, dan bagian
keuntungan tersebut harus dibayar (diserahkan) kepada pemberi akses tadi, yaitu
penguasa (Lihat Siti Akhiriah Nasution, “Korupsi dan Kekuasaan”, Opini, Januari
2010)
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
korupsi, antara lain adalah korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah
literature ekonomi-politik, sering disepadankan dengan praktek politik di mana
pemerintah atau penguasa berinteraksi secara tertutup (idak diketahui
oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam
ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk
kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang
terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini
terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang
memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti
ini membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan (mafia hukum) sehingga
hukum seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu (Lihat Didik J.
Rahbini, 1996: 92)
Sistem korporatisme
akan menimbulkan ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak yang dirugikan. Dalam
prakteknya, korporatisme biasanya berbarengan dengan praktek-praktek haram
lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang
dilakukan oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent
seeking dalam prakteknya adalah menjualbelikan jabatan publik yang
dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh kekuntungan ekonomi, yang
prakteknya berwatak “koruptif”. Praktek-praktek seperti ini dapat dilihat jelas
pada masa Orde Baru, yang pada saat itu terjadi distribusi modal yang hanya
dinikmati segelintir orang atau pengusaha (yang umumnya adalah keluarga
Soeharto) dan terdapat praktek monopoli dalam produksi (Agus Suradika, op
cit., h.7)
Seperti yang
disampaikan oleh Amien Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa
bagaimanapun tindakan korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya
persengkongkolan (korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama
yang pada awalnya membuka akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para
pengusaha (sektor swasta, yang berpotensi memberikan rangsangan kepada penguasa
untuk membuka akses kemudahan bagi pelanggaran hukum). Korupsi atau kejahtan
korporasi juga didorong oleh pengaruh hasrat dan ketamakan dari dalam diri
seseorang (dalam hal ini adalah penguasa), serta tuntutan keluarga (korupsi
nepotistik).
Prof. Muhammad Mustofa,
dalam bukunya Kleptokrasi, menjelaskan keterkaitan konsep keluaga
dalam tatanan sosial Indonesia
dengan tindakan korupsi. Dalam masyarakat Indonesia, keluarga dimaknai sebagai
kelompok yang tidak hanya terdiri dari ayah, ibum dan anak-anak (keluarga batih),
tetapi juga berupa konsep keluarga besar yang meliputi seluruh kerabat dekat
dan kerabat jauh, seperti nenek dan nenek, paman dan bibi beserta anak-anaknya,
baik dari pihak ayah maupun ibu. Dalam tatanan sosial terdapat suatu tuntutan
dan harapan peran agar setiap individu di dalam keluarga itu bertanggung jawab
terhadap anggota-anggota keluaraga besa yang sedang tidak beruntung (Muhammad
Mustofa, 2010: ix)
Pola seperti ini memang memiliki manfaat yang
baik. Konsep keluarga besar ini tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme yang
memiliki potensi untuk mengatasi masalah sosial, seperti pengengguran dan
kemiskinan. Namun begitu, konsep keluarga besar seperti ini juga memiiki
potensi yang tak kalah kuatnya untuk mendorong ke situasi yang kondusif bagi dilakukannya
tindakan penyimpangan. Ketika ada tuntutan dan tanggung jawab yang diemban
untuk saling membantu anggota keluarga yang sedang susah, seseorang berada pada
titik di mana dia harus memberikan bantuan materil (terkadang pemberian
pekerjaan). Keadaan seperti ini sama saja dengan “lebih besar pasak dari
pada tiangnya” sehingga individu tersebut harus mencari tambahan
penghasilan untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini lah yang kemudian
menyebabkan individu sering melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan
penghasilan tambahan dengan jalan yang tidak sah, misalnya korupsi (Ibid.,
h.x)
Korupsi merupakan white-collar crime
Merujuk kepada pengertian white-collar crime
yang menunjukkan suatu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang
terhormat, sesungguhnya kasus korupsi Gayus Tambunan sangat dapat dilihat dari
pisau bedah ini.
Yang pertama sekali harus diperhatikan adalah kata
“orang terhormat” tersebut. Bisa jadi ini dapat menimbulkan pengertian yang
bias tentang status Gayus Tambunan yang hanyalah seorang pegawai rendahan di
kantor pusat pajak. Oleh karena itu, penulis lebih menekankan pengertian white-collar
ini sebagai istilah yang memiliki makna pada awal kemunculannya, yang digunakan
oleh Sloan, yaitu white-collar yang menunjuk kaum penerima gaji yang
mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan
administrsi kantor, para manajer dan para asistennya. Dari sini, Gayus termasuk
dalam kategori yang dimaksudkan.
Tipologi dari white-collar crime yang
dibuat oleh Clinard dan Quinney (1973) adalah occupational criminal
behavior dan corporate criminal behavior. Dua tipologi ini
kemudian dibagi menjadi lima tipe cirri pelaku dan tujuan, yaitu 1) pelanggaran
individu sebgai individu, 2) pelanggaran pegawai terhadap majikan, 3)
pelanggaran pejabat pembuat keibjakan untuk kepentingan umum, 4) pelanggaran
agen korporasi terhadap kepentingan umum, dan 5) pelanggaran oleh pedagan
terhadap konsumen (Lihat Muhammad Mustofa, 2010: 26)
Kejahatan korupsi
adalah pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang terhormat tadi. Kejahatan
ini dapat dilakukan oleh individu sebagai individu, atau pegawai terhadap
majikannya (kasus penggelapan). Melihat secara sepintas kasus korupsi yang
dilakukan oleh Gayus, tindakannya temasuk dalam kategori ini, yaitu dilakukan
oleh individu sebagai individu demi keuntungan yang dinikmati oleh individu.
Namun demikian, adanya dugaan keterlibatan para pengusaha lain, seperti Andi
Kosasih, dan para petinggi dari Kepolisian, menjadikan kasus korupsi Gayus
(makelar kasus) sebagai bentuk dari kejaharan korporasi (dilakukan oleh
organisasi, dalam bentuk struktur organisasi yang saling menguntungkan dan
melindungi, serta melempar tanggung jawab). Aksi seperti ini termasuk dalam
tipe 3 dan tipe 4 yang disampaikan oleh Clinard dan Quinney, yaitu pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan atau
pihak tertentu; pelanggaran yang dilakukan oleh agen korporasi terhadap
kepentingan umum. Berkaitan dengan hal ini, pengusaha memanfaatkan posisi Gayus
untuk mempermudah prosedural pengurusan pajak, dan bahkan melibatkan pihak
kepolisian untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan.
Prof. Muhammad
Mustofa, memberikan penjelasan tentang teori yang digagas oleh Sutherland,
berkaitan dengan kasus korupsi ini. Sutherland menganalisa dan menjelaskan
gejala white-collar crime dengan menggunakan teori different
association. Sutherland menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan tersebut
dalam melaksanakan pekerjaannya melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukan
merupakan kelanjutan dari kenakalan yang pernah dilakukan pada masa anak atau
remaja. Konsep ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan atas yang
berpendidikan. Ketika para pelaku ini belajar masalah bisnis, pada saat itu
pula lah mereka belajar tentang bagaimana cara melakukan pelanggaran hukum
(dalam different association dikatakan bahwa kejahatan didapat
dari proses belajar). Konsep bisnis dihayati sebagai sikap untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Dalam melakukan bisnis ini,
sering terjadi penyelewengan hukum demi kelancaran jalannya bisnis.
Penyimpangan sengaja dilakukan untuk meningkatkan keuntungan. Misalnya pelaku
usaha yang sengaja membuat iklan terlalu berlebihan dan menyesatkan (terdapat
unsur kebohongan) agar konsumen mau membeli produk mereka. Hal ini merupakan
sebagian kecil dari banyak contoh yang memperlihatkan bentuk kecurangan dalam
perilaku bisnis. Biasanya dalam melakukan kecurangan, pelaku bisnis jarang
sekali mendapatkan kritik dari media massa,
karena sejatinya media massa
juga merupakan palaku bisnis. Para pelaku
bisnis terbebas dari kritik dan terbebas dari kemungkinan diajukan ke
pengadilan karena mereka mempuyai hubungan yang erat dengan birokrasi (Muhammad
Mustofa, 2010: 43)
Mengacu kepada kasus
Gayus Tambunan, jelaslah sudah bahwa teori different association dapat
dijadikan landasan sebagai pisau untuk menjelaskan mengapa korupsi dapat
terjadi dan dilakukan oleh seorang individu. Menurut yang diberitakan dalam Republika
Online, Gayus semasa muda adalah orang yang berpendidikan, terkenal
sebagai anak muda yang baik, ramah, dan pintar dalam mengatur keuangan.
Keluarganya dipandang cukup berada pada masa itu. Selain itu, Gayus juga
merupakan seorang tamatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan nilai
yang cukup memuaskan meskipun tidak dapat dikatakan sebagai nilai yang
spektakuler, Maret 2010). Tentunya semua kelihaian Gayus dalam mengolah data
keuangan di kantor pusat pajak ia dapatkan dari bekalnya menuntut ilmu
tersebut. Akan tetapi kemahiran dalam melakukan pelanggaran hukum didapatkan di
lapangan, setelah ia terjun langsung dalam dunia perpajakan dan bisnis (dalam
hal ini bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha individu yang terorganisasi
untuk mendapatkan laba/keuntungan).
Tidak hanya kepada
Gayus, teori ini juga dapat ditunjukkan kepada pelaku usaha yang bekerja sama
dengan Gayus Tambunan. Semua pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku
bisnis, sesuai dengan teori tersebut, merupakan hasil belajar dari pengalaman,
belajar di lapangan, yang terpicu karena penghayatan pelaku bisnis yang
memaknai kegiatan mereka adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Atas dasar
ini, pelanggaran hukum telah menjadi suatu kebiasaan, atau bahkan mereka
terisolasi dari pengertian yang menegaskan bahwa pelanggaran hukum yang mereka
lakukan adalah salah.
Adanya faktor
tuntutan dari konsep keluarga besar yang ada dalam masyarakat Indonesia,
wewenang yang dimiliki (kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi,
persengkokolan (korporasi) menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang
sudah biasa dan lazim saja dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Mengerucutkan semua faktor-faktor yang ada tersebut, semuanya kembali
kepada hati nurani dan keimanan seseorang dalam mengambil sikap dan melaksanakan
amanah yang mereka emban.
Kesimpulan dan Saran
Korupsi adalah
kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi,
di mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan
masyarakat.
Korupsi pada
dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua
kalangan di dalam masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus
Tambunan, korupsi yang sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan
atas, kau elite, dan para pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang
strategis.
Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi
merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan
penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika
menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang
tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu
maupun kelompok, dan dilaksanakan baik sebagai kejahatan individu
(professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga
kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga
membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi
keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis
kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.
Korupsi juga dapat terjadi karena kurangnya
kesadaran untuk mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. Ketika di dalam
tatanan sosial masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi konsep keluarga besar
menjadi sebuah faktor individu untuk berada di situasi yang sulit dalam
menutupi kekurangan ekonomi, pengaruh-pengaruh dari keluarga dan kerabat dapat
menyebabkan munculnya sikap untuk melakukan kecurangan dan pelanggaran hukum. Individu yang melakukan korupsi
gagal dalam memilah antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Korupsi
terjadi karena hilangnya rasa tanggung jawab dan rasa malu di dalam diri
pelakunya.
Korupsi juga tidak datang begitu saja di
pikiran seorang pelaku. Dia dipahami seabagai suatu tindakan melanggara hukum
dan diperoleh melalui proses belajar. Sesuai dengan teori different
association, kemungkinan terbesar aksi pelanggaran hukum ini dipelajari
ketika seseorang mulai belajar melakukan bisnis atau usaha untuk mencari
keuntungan. Semakin kuatnya paham setiap pelaku bisnis bahwa mendapatkan
keuntungan (materil) adalah tujuan utama dari suatu bisnis, menyebabkan
pelangaran hukum, seperti korupsi, menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan.
Selain itu, semakin bertambahnya anggota yang memiliki paham yang sama tentang
keuntungan tersebut, menjadikan korupsi sebagai lahan untuk mencari uang
sehingga membuka lebar untuk terjadinya tindakan kejahatan korporasi.
Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi
diri individu untuk melakukan kejahatan: korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya
rasa kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi mereka yang memiliki
jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi dan
harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa
tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah
dan menghentikan korupsi di negeri ini. Pendidikan agama dan aksi memperkuat
iman adalah metode yang mesti ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang
memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat.